Pengelolaan Zakat secara Profesional
Pengelolaan Zakat secara Profesional
Oleh: KH. MA.
Sahal Mahfudh
"Sebagai
salah satu rukun Islam, zakat adalah fardlu 'ain dan kewajiban ta'abbudi. Dalam
al-Qur’an, perintah zakat sama pentingnya dengan perintah shalat. Namun
demikian, kenyataannya, rukun Islam yang ketiga itu belum berjalan sesuai
dengan harapan."
Pengelolaan zakat di masyarakat masih
memerlukan bimbingan dari segi syari'ah mau pun perkembangan zaman. Pendekatan
kepada masyarakat Islam masih memerlukan tuntunan serta metode yang tepat dan
mantap.
Orang yang membayar pajak (muzakki)
misalnya, masih melaksanakan kewajibannya secara terpencar. Pembagian zakat pun
masih jauh dari memuaskan. Ini perlu penataan dengan cara melembagakan zakat
itu sendiri. Penataan ini tidak hanya terbatas dengan pembentukan panitia zakat
saja. Lebih dari itu, penataan hendaknya juga menyangkut aspek manajemen modern
yang dapat diandalkan, agar zakat menjadi kekuatan yang bermakna.
Penataan itu menyangkut aspek-aspek
pendataan, pengumpulan, penyimpanan, pembagian dan yang menyangkut kualitas
manusianya. Lebih dari itu, aspek yang berkaitan dengan syari'ah tak bisa kita
lupakan. Ini berarti kita memerlukan organisasi yang kuat dan rapi. Menurut 'kitab
kuning', barang-barang yang wajib dizakati adalah emas, perak, simpanan, hasil
bumi, binatang ternak, barang dagangan, hasil usaha, rikaz dan hasil laut.
Mengenai zakat binatang ternak, barang dagangan dan emas perak, hampir tidak
ada perbedaan antara para ulama dan imam mazhab. Sedangkan mengenai zakat hasil
bumi, ada beberapa perbedaan di antara mazhab empat.
1. Menurut Imam Abu Hanifah, setiap yang
tumbuh di bumi, kecuali kayu, bambu, rumput dan tumbuh-tumbuhan yang tidak
berbuah, wajib dizakati.
2. Menurut Imam Malik, semua tumbuhan yang
tahan lama dan dibudidayakan manusia wajib dizakati, kecuali buah-buahan yang
berbiji seperti buah pir, delima, jambu dan lain-lain.
3. Menurut Imam Syafi’i setiap
tumbuh-tumbuhan makanan yang menguatkan, tahan lama dan dibudidayakan manusia,
wajib dizakati.
4. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal,
biji-bijian, buah-buahan, rumput yang ditanam wajib dizakati. Begitu pula
tumbuhan lain yang mempunyai sifat yang sama dengan tamar, kurma, mismis buah
tin dan mengkudu, wajib dizakati.
Sedangkan untuk hasil bumi seperti
tembakau dan cengkih, wajib dizakati apabila diperdagangkan. Dengan demikian,
ketentuannya sama dengan zakat tijarah (perdagangan), bukan
zakat zira’ah (hasil bumi).
Bagaimana dengan gaji dan penghasilan dari
profesi? Menurut Imam Syafi’i, tidak wajib dizakati. Sebab kedua hal tersebut
tidak memenuhi syarat haul dan nisab. Tetapi bukankah gaji diberikan tiap
bulan? Dengan demikian, gaji setahun yang memenuhi nisab itu hanya memenuhi
syarat hak, tidak memenuhi syarat milik. Padahal benda yang wajib dizakati
harus merupakan hak milik. Gaji maupun upah jasa lainnya, kalaupun dikenakan
zakat, adalah zakat maal, jika memang sudah mencapai nisab dan haul.
Penghasilan dari industri juga wajib dizakati. Ini dikiaskan dengan barang dagangan dan hasil usaha. Sebab tidak ada industri yang tidak diperdagangkan. Sedang uang, asal memenuhi nisab dan haul, menurut Imam Maliki, wajib dizakati. Imam Maliki mengkiaskan uang dengan emas.
Ketentuan-ketentuan barang yang wajib dizakati tersebut, menurut hemat saya, relevan dan bisa diterapkan dalam situasi dan kondisi kita.
Hampir tidak ada perbedaan pendapat di antara mazhab empat dalam masalah nisab dan haul barang-barang yang wajib dizakati. Misalnya, untuk emas nisabnya 20 dinar dengan zakat 2,5 persen. Begitu pun untuk barang dagangan, bila nilainya mencapai 20 dinar, wajib dizakati 2,5 persen. Emas/perak dan barang dagangan wajib dizakati apabila pemilikannya mencapai 1 tahun (haul).
Untuk hasil bumi tanpa haul. Setiap kali panen harus langsung dizakati. Nisabnya 5 wasak. Tentang binatang ternak, juga sudah ada ketentuannya sendiri.
Dalam masalah nisab dan haul ini, karena ketentuan yang ada sudah demikian rinci, yang perlu kita lakukan adalah mengkonversikannya dengan ketentuan-ketentuan yang ada di negara kita. Misalnya, satu dinar sama dengan berapa rupiah, satu wasak itu berapa kilogram, dan seterusnya.
Dalam masalah mustahiq (yang berhak menerima zakat), juga tidak ada perbedaan pendapat. Sebab mustahiq sudah jelas disebutkan dalam surat al-Taubah ayat 60. Mustahiq adalah faqir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, sabilillah dan ibnu sabil. Para mustahiq tersebut biasa disebut asnaf al-tsamaniyah (delapan kelompok).
Penghasilan dari industri juga wajib dizakati. Ini dikiaskan dengan barang dagangan dan hasil usaha. Sebab tidak ada industri yang tidak diperdagangkan. Sedang uang, asal memenuhi nisab dan haul, menurut Imam Maliki, wajib dizakati. Imam Maliki mengkiaskan uang dengan emas.
Ketentuan-ketentuan barang yang wajib dizakati tersebut, menurut hemat saya, relevan dan bisa diterapkan dalam situasi dan kondisi kita.
Hampir tidak ada perbedaan pendapat di antara mazhab empat dalam masalah nisab dan haul barang-barang yang wajib dizakati. Misalnya, untuk emas nisabnya 20 dinar dengan zakat 2,5 persen. Begitu pun untuk barang dagangan, bila nilainya mencapai 20 dinar, wajib dizakati 2,5 persen. Emas/perak dan barang dagangan wajib dizakati apabila pemilikannya mencapai 1 tahun (haul).
Untuk hasil bumi tanpa haul. Setiap kali panen harus langsung dizakati. Nisabnya 5 wasak. Tentang binatang ternak, juga sudah ada ketentuannya sendiri.
Dalam masalah nisab dan haul ini, karena ketentuan yang ada sudah demikian rinci, yang perlu kita lakukan adalah mengkonversikannya dengan ketentuan-ketentuan yang ada di negara kita. Misalnya, satu dinar sama dengan berapa rupiah, satu wasak itu berapa kilogram, dan seterusnya.
Dalam masalah mustahiq (yang berhak menerima zakat), juga tidak ada perbedaan pendapat. Sebab mustahiq sudah jelas disebutkan dalam surat al-Taubah ayat 60. Mustahiq adalah faqir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, sabilillah dan ibnu sabil. Para mustahiq tersebut biasa disebut asnaf al-tsamaniyah (delapan kelompok).
Yang masih sering diperdebatkan adalah
tentang kategori masing-masing mustahiq, terutama untuk sabilillah. Jumhur
ulama berpendapat, sabilillah adalah perang di jalan Allah. Bagian untuk
sabilillah diberikan kepada para angkatan perang yang tidak mendapat gaji dari
pemerintah. Tetapi menurut Imam Ahmad bin Hanbal, bagian zakat untuk sabilillah
bisa ditasharufkan (digunakan) untuk membangun madrasah, masjid, jembatan dan
sarana umum lainnya.
Agar zakat berdayaguna, kita perlu
mengambil pengertian sabilillah dalam makna yang luas, tidak
membatasi pada pengertian berperang saja. Kalau kita sepakat mengambil
pengertian yang luas, maka segala hal yang berkaitan dengan maslahat umum
termasuk dalam kategori sabilillah.
Agar pelaksanaan pengumpulan dan
pentasharufan zakat bisa berjalan dengan sebaik-baiknya, maka terlebih dahulu
harus dilakukan upaya pendataan terhadap muzakki, barang yang wajib dizakati
dan mustahiq zakat.
Sering kali keengganan para 'wajib zakat'
timbul karena kita main hantam kromo saja. Dengan pendataan yang cermat
terhadap muzakki dan harta benda yang dimiliki, diharapkan para wajib zakat
tidak enggan lagi meaksanakan kewajibannya. Demikian juga dengan pendataan yang
teliti terhadap mustahiq, diharapkan pembagian zakat lebih tepatguna.
Menurut Imam Syafi’i, pengumpulan zakat
harus berupa barang yang dizakati itu sendiri, kecuali untuk barang dagangan.
Artinya, untuk hasil bumi, maka yang harus dizakatkan adalah hasil bumi itu
sendiri. Pengumpulan zakat tidak bisa diganti dengan uang misalnya, meski
senilai barang yang dizakati. Namun untuk barang dagangan, zakat harus berupa
uang. Pedagang konveksi misalnya, tidak boleh mengeluarkan zakat dalam bentuk
barang-barang konveksi, seperti baju, celana dan lain sebagainya.
Begitu pula pembagiannya, harus berupa
barang yang dizakati itu sendiri. Zakat hasil bumi harus dibagi berupa hasil
bumi. Zakat hewan ternak harus dibagi berupa hewan ternak. Karena pembagiannya
harus berupa barang yang dizakati itu sendiri, maka sudah barang tentu,
penyimpanannya juga harus berupa barang itu sendiri.
Ditinjau dari segi teknis, hal itu tidak
praktis. Sebab sekarang ini barang sebesar apapun bisa dilipat dan dimasukkan
dalam kantong, sebab bisa diwijudkan menjadi lembaran-lembaran uang. Bahkan
sekarang uang pun bisa diringkas lagi menjadi cheque (cek).
Pengumpulan, penyimpanan dan pembagian yang mensyaratkan barang yang dizakati
itu sendiri tidak praktis ditinjau dari segi waktu, tenaga dan tempat yang
dibutuhkan untuk keperluan itu.
Tentang petugas pengumpul dan pembagi
zakat biasanya disebut amil. Hal ini sesungguhnya salah kaprah. Yang
disebut dengan amil, sebagaimana dalam masyarakat kita, sesungguhnya baru
panitia zakat. Sedangkan amil seharusnya diangkat oleh pemerintah, yang boleh
mengambil bagian zakat. Organisasi sosial keagamaan, atau institusi apapun,
tidak berhak membentuk amil zakat.
Menurut ketentuan fiqih, jika pemerintah
(imam) mengumpulkan zakat, ia bebas menyerahkan hasil pengumpulan kepada
mustahiq dalam bentuk apapun, baik berupa modal mau pun alat-alat kerja.
Pembagian zakat, menurut Imam Syafi’i,
harus di antara delapan ashnaf. Tapi menurut qaul yang
lain, zakat boleh diberikan kepada mustahiq tertentu saja.
Pengelolaan zakat secara profesional
memerlukan tenaga yang terampil, menguasai masalah-masalah yang berhubungan
dengan zakat, penuh dedikasi, jujur dan amanah. Tidak bisa kita bayangkan bila
pengelola zakat tidak menguasai masalah-masalah yang berhubungan dengan zakat,
seperti soal muzakki, nisab, haul dan mustahiq zakat. Begitu pula sulit
dibayangkan apabila pengelola zakat tidak penuh dedikasi, bekerja lillahi
ta’ala.
Lebih-lebih bila pengelola zakat tidak
jujur dan amanah. Kemungkinan yang akan terjadi adalah zakat tidak sampai
kepada mustahiq, dan mungkin pula hanya dipakai untuk kepentingan pribadi saja.
Oleh karena itu, tenaga yang terampil, menguasai masalah-masalah yang
berhubungan dengan zakat, jujur dan amanah sangat dibutuhkan dalam sistem
pengelolaan zakat yang profesional.
Zakat adalah ibadah sosial yang formal,
terikat oleh syarat dan rukun tertentu. Dalam upaya pembentukan dana,
sesungguhnya zakat tidak sendirian. Jika keperluannya ialah penyantunan fakir
miskin, sesungguhnya fiqih telah menetapkan kewajiban lain atas hartawan muslim
untuk menyantuni mereka. Kewajiban ini jika dikembangkan justru merupakan
potensi lebih besar ketimbang zakat.
Kewajiban itu adalah memberikan nafaqah (nafkah).
Menurut ketentuan fiqih, bila tidak ada baitul maal, maka wajib bagi para
hartawan untuk memberi nafkah kepada fakir miskin. Nafaqah berbeda
dengan shadaqah, sebab shadaqah adalah ibadah sunnah, sedangkan nafaqah bersifat
wajib.
Shadaqah juga bisa dijadikan alternatif pemecahan masalah sosial. Sebab, seperti juga nafaqah, shadaqah tidak terikat ketentuan nisab dan haul, sebagaimana zakat. Orang boleh saja bershadaqah kapan saja dan berapa saja.
Shadaqah juga bisa dijadikan alternatif pemecahan masalah sosial. Sebab, seperti juga nafaqah, shadaqah tidak terikat ketentuan nisab dan haul, sebagaimana zakat. Orang boleh saja bershadaqah kapan saja dan berapa saja.
Sebagai alternatif, nafaqah dan
shadaqah banyak memberikan kemungkinan. Lebih-lebih bila diingat, di negara
kita tidak ada baitul maal. Maka nafaqah sebagai ibadah wajib,
perlu digalakkan pelaksanaannya. Demikian juga untuk pengembangan dan
pembangunan masyarakat kita perlu menghimpun dana melalui shadaqah.
*)Diambil dari buku KH. MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS). Tulisan ini pernah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Zakat oleh P3M di PKBI, 2 Desember 1986.
*)Diambil dari buku KH. MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS). Tulisan ini pernah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Zakat oleh P3M di PKBI, 2 Desember 1986.

Komentar
Posting Komentar